top of page

PROFESSIONAL DEVELOPMENT FOR TEACHER TRAINERS: Catatan Seorang OPEN Alumni, Fall 2021

Updated: Sep 12, 2022

Overview


1. Mengajar Siswa vs Melatih Guru


Setiap kita mungkin punya persepsi dan sikap unik terhadap perbedaan yang pasti ada antara saat kita mengajar siswa-siswi di kelas dengan saat kita memberikan presentasi atau pelatihan pada sesama rekan guru. Siswa-siswi kita ibaratnya sebuah gelas kosong atau secarik kertas putih, yang masih membutuhkan “suapan” ilmu, keterampilan, dan bahkan kasih sayang atau perhatian layaknya orang tua kepada anak. Sedangkan sesama guru, bahkan tetap kurang mewakili jika mengibaratkannya dengan gelas berisi setengah atau penuh, atau kertas yang telah berisi setengah atau penuh coretan. Tidak menutup kemungkinan, sebagian mereka bahkan sudah berada jauh di atas kita baik dari aspek usia, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, apakah lantas berarti tidak ada kesamaan di antara keduanya? Jawabannya, tetap ada dan bahkan lebih banyak. Bagaimanapun, keduanya adalah sebuah proses mentransfer ide, ilmu, dan keterampilan kepada sesama manusia.


Sebagai seorang guru, kita mungkin sudah sering mencurahkan berbagai rasa kita tentang siswa-siswi yang diajari, salah satu rasa itu mungkin berupa kekhawatiran. Hal yang sama juga tentu terjadi pada seorang pelatih guru (selanjutnya disebut teacher trainer). Instruktur OPEN kami menyebutkan salah satu kekhawatirannya sebagai seorang teacher trainer adalah ketika saran atau nasehat yang diberikannya justru dipersepsikan sebagai kritik oleh partisipan pelatihannya. Salah satu kekhawatiran penulis sendiri adalah terkait ekspektasi yang mungkin salah atau berlebihan. Bentuk ekspektasi tersebut misalnya berfikir bahwa partisipan pelatihan adalah sesama orang-orang terdidik, sehingga tentu mereka dapat dengan mudah memahami “bahasa” yang digunakan oleh seorang teacher trainer, yang mungkin saja ternyata merupakan hal baru buat mereka. Atau sebaliknya, teacher trainer berfikir bahwa sesuatu itu adalah hal baru buat partisipan pelatihannya yang ternyata sudah dianggap biasa oleh sebagian partisipan, hal ini dapat diperburuk jika teacher trainer menyampaikan hal-hal terkait yang tidak akurat. Sebagai teacher trainer, adakah anda memiliki kekhawatiran yang sama atau yang lainnya?


Terlepas dari semua kekhawatiran kita sebagai teacher trainer, tentu lebih baik berfokus pada hal-hal positif yang begitu banyak terkait dengan pendidikan dan pelatihan guru ini (selanjutnya disebut teacher training). Manfaat dari program seperti ini tentu bukan saja akan dirasakan oleh partisipan pelatihan kita, bahkan manfaat yang lebih banyak lagi akan diperoleh teacher trainer itu sendiri, yang antara lain mempertajam ilmu dan keterampilan, memperkaya portofolio, memberikan kontribusi terhadap perkembangan masyarakat dan bangsa, dan masih banyak lagi manfaat-manfaat besar lainnya.


Jika anda diminta untuk menyebutkan lima kata yang merepresentasikan program teacher training, kata-kata apa sajakah itu? Dari penulis sendiri, lima kata untuk teacher training itu adalah learning (pembelajaran), critical (kritis), innovation (inovasi), creation (kreasi), dan solution (solusi). Tentu saja masih banyak sekali perbendaharaan kata-kata positif yang relevan seiring menebalnya portofolio teacher training anda. Tentu kata-kata ini tidak terlahir begitu saja dalam kekosongan makna dan tujuan. Mereka terlahir dari proses mencurahkan harapan, energi, waktu, fikiran, dan terkadang bahkan harta pribadi.


Semua hal di atas berlaku baik dalam mengajar siswa-siswi di kelas maupun dalam melatih guru pada program teacher training. Tabel berikut ini merangkum perbedaan-perbedaan utama antara peran kita sebagai guru kelas (selanjutnya disebut classroom teacher) dengan sebagai teacher trainer dari beberapa aspek utama:



2. Analisis Kebutuhan


Teacher trainers, pernahkah kita bertanya mengapa sering kali sulit mengajak rekan-rekan kita untuk belajar bersama atau mengikuti training? atau mengapa sebagian besar partisipan training kita tampak kurang serius dan tidak fokus? atau mengapa sebagian besar rekan kita sudah mengikuti training di mana-mana tapi kinerja atau prestasi begitu-begitu saja, hampir tidak ada yang berubah, tidak ada peningkatan atau inovasi baru? dan seterusnya.


Nah, ternyata Teacher Training yang efektif itu idealnya dimulai dengan melakukan Needs Analysis (Analisis Kebutuhan). Bagaimana caranya? Mudah saja dan buat mereka yang sudah terbiasa meneliti pasti sudah biasa menggunakan alat-alat analisis seperti; surveys/questionnaires (angket), interviews (wawancara), observations (observasi), dan atau focus group discussion (FGD).

Needs atau kebutuhan partisipan target yang perlu diketahui melalui alat analisis kebutuhan tersebut di atas terdiri dari dua jenis. Pertama, objective needs (kebutuhan obyektif) yang menanyakan hal-hal seperti latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar, level dan kemampuan berbahasa, serta standar dan target pemerintah/institusi. Ke dua, subjective needs (kebutuhan subyektif) yang menanyakan hal-hal seperti sikap, minat, ekspektasi/harapan, persepsi tentang tujuan pelatihan, tujuan belajar atau tujuan peningkatan tehnik atau keterampilan mengajar tertentu, serta gaya dan strategi belajar. Pastikan analisis kebutuhan obyektif dan subyektif ini terliput dalam alat analisis anda.


Selain kepada partisipan target training anda, analisis kebutuhan juga perlu dilakukan kepada stakeholders (mereka yang terdampak oleh training kita; selain partisipan, juga termasuk administrator, orang tua, dan siswa). Kita dapat melakukan wawancara dengan administrator atau melakukan observasi terhadap sikap/karakter siswa.


Kapankah sebaiknya analisis kebutuhan dilakukan? Tentu saja tidak bisa "right away" atau sesaat itu juga apa lagi mendadak. Setidaknya dua dari alat analisis kebutuhan di atas mungkin perlu dilakukan, pastikan antara waktu mengumpulkan data dan menganalisa data untuk membuat desain rencana pelaksanaan pelatihan kita teralokasi dengan sebaik-baiknya sebelum hari pelaksanaan.


Teacher trainer sebaiknya sensitif terhadap berbagai perkembangan proses belajar mengajar khususnya dalam institusi sendiri. Saat mengikuti program OPEN dan hingga menulis artikel ini, penulis memandang topik-topik pengembangan profesi seperti; “Alat-alat teknologi untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa dalam kegiatan membaca”, “Meningkatkan keterampilan menulis guru atau siswa melalui blogging”, “Menggunakan alat-alat editor sederhana untuk membuat video edukasi”, “Menggunakan alat-alat online untuk berkolaborasi”, “Membuat rubrik penilaian yang efektif”, dan lain sebagainya, tentu masih sangat dibutuhkan. Hal ini tentu merupakan bentuk observasi informal yang juga merupakan alat analisis kebutuhan. Hasil observasi kita ini tentu dapat diperkuat dengan melakukan survei analisis subyektif.


Di era digital saat ini, alat-alat survei dalam jaringan (online surveys) tumbuh bak jamur di musim hujan, sebagai contoh; Google Forms, Microsoft Forms, Survey Monkey, Eventbrite, Typeform, dan lain-lain. Berikut contoh survei analisis kebutuhan dengan menggunakan Google Forms, yang penulis buat dalam bahasa Inggris karena dibuat untuk menyelesaikan tugas kuliah di progam OPEN kami yang menggunakan bahasa Inggris, dan tautan survei dibagikan khusus hanya kepada rekan guru Bahasa Inggris:


Umumnya, untuk melakukan pelatihan di dalam sebuah institusi sekolah, tentu dibutuhkan persetujuan kepala sekolah karena semua stakeholders perlu bersepakat tentang waktu dan memastikan tersedianya anggaran. Rata-rata sekolah saat ini memiliki grup WhatsApp dimana kita dapat dengan mudah membagikan tautan survei untuk mengumpulkan respon rekan-rekan guru calon partisipan pelatihan kita.


Menemukan hal-hal baru dan mengejutkan dari respon rekan-rekan sesama guru adalah hal yang menyenangkan. Needs Analysis (analisis kebutuhan) adalah hal yang esensial untuk dilakukan dan memiliki pengaruh besar dalam menentukan sukses tidaknya perencanaan pelatihan yang akan kita buat. Melakukan analisis kebutuhan memungkinkan seorang teacher trainer untuk dapat melakukan perekaman yang lebih baik dan menargetkan sejumlah ekspektasi atas apa dan bagaimana segala aspek dalam pelatihan akan terwujud.


3. Merancang Pelatihan yang Efektif


Setelah melakukan NEEDS ANALYSIS (NA), langkah selanjutnya adalah membuat interpretasi berdasarkan hasil Needs Analysis anda. Interpretasi ini meliputi deskripsi partisipan, tantangan/masalah yang paling umum dihadapi oleh partisipan, skills atau topik utama yang paling umum diminati oleh partisipan.

Selanjutnya, dari interpretasi hasil NA tersebut, tentukan topik utama training anda beserta goals (tujuan umum)nya. Satu tujuan umum sudah cukup, namun dapat ditambahkan jika dirasa perlu, mungkin karena area training topik anda bersifat meluas (extended).


Hal penting selanjutnya adalah membuat instructional objectives (tujuan instruksional khusus), yang juga berlaku untuk setiap unit/subtopik dari topik utama kita. Let's say, anda membagi topik utama training anda kedalam beberapa unit/subtopik, maka setiap unit ini juga tentu memiliki tujuan instruksional khusus. Perlu diingat, tujuan (objectives) berbeda dengan kegiatan (activities).


Ketika merumuskan instructional objectives kita, pastikan unsur SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-oriented/Timely) terliput didalamnya, berikut contohnya:

Setelah sesi berakhir, partisipan diharapkan dapat:

menjelaskan bagaimana alat-alat teknologi dapat meningkatkan motivasi dan engagement dalam kegiatan membaca di ruang kelas.

Sebelum menentukan instructional objectives untuk setiap unit/subtopik, langkah-langkah berikut perlu dilakukan:

  • Tentukan lama/durasi pelaksanaan training/pelatihan anda.

  • Tentukan isi materi training anda yang kemudian akan menjadi judul unit/subtopics, dapat terdiri dari dua unit atau lebih.

  • Buatlah instructional objectives untuk masing-masing unit.

  • Buatlah rancangan assessment/penilaian untuk masing-masing unit.

Setelah semua hal di atas terpenuhi, maka sekarang saatnya membuat Training Course Outline kita yang terdiri dari:

  • Deskripsi umum (course description)

  • Tujuan umum (course goals)

  • Tujuan khusus (course objectives)

  • Daftar subtopik/unit

  • Rancangan Penilaian (assessment plan)

  • Tujuan khusus setiap subtopik/unit (topic objectives), activities/kegiatan, dan assessment/penilaian

Training course outline anda ini dapat dibuat dalam bentuk tabel untuk memudahkan anda keep on track/mengontrol atau stay organized/bekerja secara terstruktur. Tabel ini terdiri dari beberapa kolom dengan nama; waktu pelaksanaan, unit/subtopik, tujuan khusus dari unit dimaksud, kegiatan pada masing-masing unit, dan assessment/penilaian yang akan dilakukan pada masing-masing unit.


Training course outline anda tentu harus berdasarkan data yang diperoleh dari Needs Analysis (Analisis kebutuhan) yang anda lakukan pada tahap sebelumnya.


Sebelum menyajikan tabel training course outline anda, berdasarkan data hasil dari Needs Analysis yang anda telah lakukan, anda dapat membuat jurnal pendahuluan (preliminary inquiry/journal) deskriptif yang berisi:

  • Rangkuman data demografis,

  • Masalah dan tantangan umum yang dihadapi,

  • Topik pelatihan yang umum diminati oleh responden/calon partisipan pelatihan,

  • Rumusan topik pelatihan beserta goal(s) atau tujuan utama pelatihan tersebut (dapat terdiri dari satu atau lebih),

  • Rumusan tujuan-tujuan khusus per unit (jika lebih dari satu unit, biasanya satu tujuan utama untuk satu unit), setiap unit dilengkapi dengan rancangan task-based assessment atau penilaian berbasis kegiatan,

  • Penentuan durasi pelatihan yang akan anda lakukan,

  • Penentuan area pembahasan utama per unit,

  • Penentuan kegiatan apa yang akan anda lakukan untuk melakukan assessment/penilaian per unit, pastikan antara kegiatan assessment/penilaian yang anda lakukan berkorelasi dengan tujuan utama dan tujuan khusus dari pelatihan anda. Tentukan pula cara merevisi jika ada ketidak sesuaian.

Berikut sebagai contoh:

Data demografis responden/calon partisipan pelatihan

I collected responses from 8 respondents. They are all in-service English teachers who have been teaching for more than 5 years, some even more than 10 years. 5 teach at middle schools and 3 at high schools. Regarding educational background, 6 with a bachelor's degree and 2 with a Master's degree. On language level, 2 advanced, 1 upper intermediate, and 5 intermediates.

Masalah dan tantangan yang umum dihadapi oleh responden/calon partisipan pelatihan

  1. How to motivate students to learn, to think critically, and to be creative.

  2. How to improve students' vocabulary.


Topik pelatihan yang diminati dan ingin ditingkatkan oleh responden/calon partisipan pelatihan

  1. tech tools for enhancing students' reading motivation and engagement.

  2. enhancing students'/teachers' writing skills through blogging.

Training Topic and Goals

Based on the results of my Needs Analysis survey, most of the respondents are interested in tech tools for enhancing students' reading motivation and engagement. So, I would love to share with them what tech tools I have found helpful or interesting so far. I am hoping that my participants will learn about one or two tech tools that they can use in their classes and how to optimize the tools with all the useful features offered to achieve their learning goals. My course goal is for the participants to be able to use a specific tech tool related to reading activities optimally so that it may help to enhance students' motivation and engagement in reading.

Create objectives for your training

The topic of my upcoming training session is a tech tool(s) that can be utilized to enhance reading motivation and engagement. My course goal is for participants to be able to use a specific tech tool(s) related to reading activities optimally so that it may help to enhance students' motivation and engagement in reading.

By the end of the training session, participants will be able to:
  • explain how the tech tool(s) can enhance motivation and engagement in their classrooms' reading activities

  • demonstrate how the tech tool(s) can enhance motivation and engagement in their classrooms' reading activities

  • plan reading tasks/activities that will require students to work with the tech tool(s) in their classrooms


Design an Assessment Task Based on Unit Objectives

Course goal:

My goal is for participants to be able to use a specific tech tool(s) related to reading activities optimally so that it may help to enhance students' motivation and engagement in reading.

Course objectives:

By the end of the training session, participants will be able to:
  • explain how the tech tool(s) can enhance motivation and engagement in their classrooms' reading activities.

  • demonstrate how the tech tool(s) can enhance motivation and engagement in their classrooms' reading activities.

  • plan reading tasks/activities that will require students to work with the tech tool(s) in their classrooms

The length of time of your training

It will be a 2-day workshop, 7 hours per day (14 training hours total).

The main content areas or topics for each unit

Unit 1: Introduction to MindMeister (and Newsela)

Unit 2: Using MindMeister (and Newsela)

Unit 3: Enhancing reading motivation and engagement with MindMeister (and Newsela)

Unit 4: Planning reading activities with MindMeister (and Newsela)


The content area to be covered in each unit and the objectives

Unit 1: Introduction to MindMeister (and Newsela)

Objectives:

By the end of this session, participants will be able to:
  • explain the purpose and features of MindMeister (and Newsela)

  • demonstrate how to access MindMeister (and Newsela)

  • perform basic tasks in MindMeister (and Newsela)

The assessment activity or activities to be used in each unit (formative and summative)

Unit 1: Introduction to MindMeister (and Newsela)

Assessments:
  • Participants answer quiz questions related to the purpose and features of MindMeister (and Newsela).

  • Participants show their ability to access MindMeister (and Newsela) using their individual devices.

  • Participants perform basic tasks in MindMeister to organize information such as adding a title (type in the box), adding a topic and sibling topics, adding a subtopic, etc, (and in Newsela) to create a class, assignment, etc. All are shown/presented with their individual devices.

The alignment between unit objectives and assessment activities with the course goal and objectives (and how to revise if needed)

“My unit objectives and assessment activities focus on introducing MindMeister (and Newsela) that covers the purpose and features of the tech tool(s), how to get started, and get familiar with some basic tasks in the tech tools. Thus, the unit objectives and assessment activities clearly align with the course goal and objectives with this focus on the introduction to MindMeister (Newsela) as tech tool(s) that can be utilized to enhance reading motivation and engagement.”

Berikut adalah contoh tampilan rancangan pelatihan (training course outline) yang dapat anda ikuti:



4. Mempromosikan Program Pelatihan (Pitching the Training) pada Administrasi dan Rekan Profesi


Bahasa yang paling mudah dipahami dan selalu dipakai untuk menamai tahapan proses ini adalah perancangan "proposal pelatihan" atau "proposal proyek/project proposal". Satu kata yang paling berkaitan adalah "stakeholders" atau pemangku kepentingan, misalnya Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan nasional atau lokal, LPMP, para Kepala Sekolah, para Guru tentunya, para siswa, bahkan orang tua siswa. Pada intinya, stakeholders adalah mereka yang terdampak oleh training/pelatihan kita.


Namun dalam kenyataannya, sejauh pengamatan penulis, stakeholders yang disebutkan di atas ini justru yang paling tidak menjadi target presentasi training pitch/proposal kita, benar atau tidak? Sering kali, terkhusus kepada mereka yang terkategori “high profile”, hanya untuk diundang membuka acara dan biasanya cukup dengan "pendekatan tradisional kultural atau bahkan personal" saja. Proposal pelatihan kita justru lebih menyasar kepada yang sebenarnya bahkan tidak masuk dalam daftar stakeholders kita, namun memiliki kemampuan finansial yang besar. Baiklah, mungkin karena orientasi kita saat menyusun proposal memang lebih ke harapan untuk mendapatkan financial support/bantuan dana.


Salah satu tujuan training pitch/mengajukan dan mempresentasikan proposal pelatihan kita memang agar mendapatkan supports termasuk finansial. Namun jika kita kembali pada visi-misi orisinil training kita, yakni menawarkan solusi atas masalah khususnya dalam proses belajar-mengajar, maka kita juga bisa berharap akan adanya non-financial supports seperti in-kind gifts and donations (jasa timbal-balik), volunteers (relawan), professional advice (nasehat profesional), dan sebagainya.

Berikut adalah hal-hal yang perlu ada dalam training pitch/proposal pelatihan kita:

  • Cover: Training topic dan identitas diri/organisasi.

  • Identifikasi masalah: berdasarkan interpretasi hasil Needs Analysis (survei, observasi, interview, atau focus group) yang kita buat sebelumnya.

  • Solution: mengajukan topik training (sebagaimana tertera pada cover) yang jg berdasarkan hasil interpretasi Needs Analysis dan menyampaikan tujuan umum serta tujuan khusus dari pelatihan yang akan kita lakukan.

  • Training outline: menyampaikan lebih detail terkait desain proses pelaksanaan pelatihan (training outline) yang memuat tujuan khusus setiap unit/sesi materi pelatihan beserta activities/kegiatan yang hendak dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan2 tsb.

  • Theoretical rationale/landasan teoritis (sengaja diskip hanya untuk video tugas course kali ini, namun penting untuk disertakan pada proposal pelatihan kita yang sesungguhnya).

  • Supporting evidence/data pendukung (case study/studi kasus dan atau testimonials), juga sengaja diskip hanya untuk video tugas course kali ini, namun penting untuk disertakan pada proposal pelatihan kita yang sesungguhnya.

  • Logistics: informasi terkait siapa yang akan menjadi partisipan pelatihan kita, hari dan waktu pelaksanaan training, tempat pelaksanaan training, dan bagaimana mempersiapkannya, disini kita sudah dapat mengajukan perkiraan budget/anggaran yang diperlukan, sekiranya dapat dipertimbangkan oleh stakeholders untuk membantu menyukseskan rencana pelatihan/training kita.

  • Assessment and evaluation plan: tentu saja untuk mengukur keberhasilan dan kebermanfaatan training kita, perlu adanya assessment/penilaian dan evaluasi. Temuannya juga tentu dapat menjadi bahan refleksi sekaligus inspirasi untuk proposal pelatihan selanjutnya.

  • Conclusion/kesimpulan: akhirnya untuk menegaskan dan menyegarkan kembali sekaligus mengakhiri presentasi, maka perlu adanya kesimpulan yang meliputi identifikasi masalah, solusi yang ditawarkan, dan alasan utama mengapa kita berpandangan bahwa solusi yg kita tawarkan adalah yang terbaik.

Contoh presentasi penulis dapat disimak melalui YouTube link berikut:

Catatan: bagian theoretical rationale dan supporting evidence sengaja penulis kosongkan karena saat pengerjaannya sebagai tugas kuliah, tidak diwajibkan oleh instruktur program OPEN kami, namun tetap harus ada saat kita merancang proposal pelatihan yang sesungguhnya. Theoretical rationale atau landasan teoritis tentu dapat diperoleh dari pendapat-pendapat para ahli/penulis atau data riset terkait yang sesuai dengan topik dan tujuan pelatihan kita. Sedangkan supporting evidence atau bukti pendukung dapat diperoleh dari testimoni ahli, pengguna, praktisi, dan sejenisnya yang juga terkait dengan topik dan tujuan pelatihan kita.


5. Mendesain Pelatihan yang Berpusat pada Peserta (Student/Participant Centered)


Sama halnya dengan classroom teaching, dalam teacher training juga berlaku konsep "student-centered instruction". Berikut empat hal yang perlu dipenuhi dalam upaya untuk menjaga daya tarik dan perhatian partisipan terhadap pelatihan yang anda berikan:


1. Tehnik dan materi

Pernahkah anda mendengar atau membaca tentang 80/20 rule of teacher talking time? Ya benar, rule ini dipakai untuk mempertahankan keseimbangan antara pemberian instruksi oleh teacher/trainer dengan partisipasi siswa/peserta. Artinya, 80% dari masa training adalah milik peserta untuk berpartisipasi termasuk berbicara/berdiskusi, berlatih, dan lain-lain. Sedangkan 20% selebihnya adalah bagian dari peran trainer untuk memberi instruksi dan memfasilitasi.

Seorang trainer juga dapat mempersiapkan beragam questioning techniques (tehnik bertanya) yang dapat berupa pertanyaan untuk kembali mendapatkan perhatian dari peserta. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat berkaitan dengan pemahaman peserta terhadap topik, pertanyaan ke individu ataupun ke seluruh partisipan.

Dalam rangka memfasilitasi different learning styles (gaya belajar yang berbeda-beda) dari setiap partisipan, sebaiknya trainer perlu merencanakan kegiatan-kegiatan yang bermoda visual, auditory, dan atau kinesthetic (hands-on).

Trainer sebaiknya tidak tergesa-gesa memberikan semua jawaban atas pertanyaan partisipan, biarkan mereka mencari jawabannya sendiri dahulu, biarkan mereka bereksplorasi sendiri dan menemukan (figure out) jawaban atau solusi sendiri dahulu. Inilah yang namanya memfasilitasi Critical Thinking.

Trainer juga perlu memberi waktu kepada partisipan untuk Practice. Do. Create sambil melakukan pembimbingan. Intinya, peserta harus diberikan waktu untuk mempraktekkan apa yang telah mereka pelajari.

Penggunaan Authentic/Real-World Materials (bahan ajar/pelatihan otentik) dapat membuat peserta jauh lebih termotivasi. Biarkan mereka membawa bahan-bahan/alat-alat mereka sendiri, karena dengan familiarity (keterbiasaan) dan rasa connected (terkoneksi) mereka terhadap bahan-bahan/alat-alat tersebut, menjadikan mereka lebih merasa included and involved (merasa menjadi bagian dari training tersebut dan terlibat secara penuh) untuk kepentingan diri mereka sendiri.


2. Lingkungan yang nyaman

Trainer dapat menciptakan lingkungan pelatihan yang nyaman dengan cara membangun kepercayaan komunitas terlebih dahulu sebelum memulai training. Trainer dapat memulai dengan berkenalan dengan para partisipan, menyapa dengan hangat. Saat training berlangsung, trainer juga perlu berjalan-jalan mendekat kepada para partisipan.


3. Berkolaborasi

Trainer perlu merencanakan untuk terlaksananya Collaborative Projects and Group Work guna memberi kesempatan kepada partisipan saling berdiskusi, berbagi ide dan pengalaman, dan bekerja sama.


4. Bertanggung jawab

Untuk menciptakan rasa tanggung jawab dalam diri partisipan, trainer perlu memberikan kontrol proses pembelajaran kepada partisipan. Berikan kesempatan kepada partisipan untuk memilih dan menentukan sendiri jenis proyek yang ingin mereka selesaikan, memilih topik sendiri untuk essay atau presentasi mereka. Bahkan partisipan juga dapat membantu trainer dalam menentukan tujuan umum/akhir dari pelatihan, dan juga bersama-sama membuat course rules/tata tertib pelatihan.

Selain itu, trainer juga perlu memberikan kesempatan pada partisipan untuk melakukan refleksi terhadap apa yang telah mereka pelajari dan bagaimana mereka mempelajarinya. Dengan begitu, partisipan dapat menilai diri sendiri, mengenali area mana saja yang perlu mereka berikan perhatian lebih atau perlu mereka eskplor lagi, baik secara mandiri maupun dengan mengikuti pelatihan-pelatihan terkait selanjutnya.


6. Merancang Training Lesson Plan


Berdasarkan keempat prinsip kerja di atas, selanjutnya trainer dapat mendesain training lesson plan (rancangan pelaksanaan pelatihan) yang berpusat pada partisipan (student-centered instruction). Untuk memudahkan proses memastikan bahwa desain training lesson plan anda telah menggunakan 80/20 rule of teacher talking time, anda dapat menambahkan kolom keterangan kode frekuensi peran trainer maupun partisipan pada setiap jenis kegiatan. Dalam hal ini, bapak/ibu trainer perlu juga mengenali kerangka kerja yang dikenal dengan nama “Explain, Model, Guide. Sebagai contoh, kode T/PPP (direct instruction by trainer) untuk menerangkan bahwa kegiatan tersebut mengandung unsur Explain (trainer memberikan penjelasan) atau unsur Guide (trainer memberikan pembimbingan). Lalu kode P (participants work individually) atau P/PPP (participants interact with each other) untuk menerangkan bahwa kegiatan tersebut mengandung unsur Model (peserta melakukan peragaan atau presentasi).


Berikut contoh training lesson plan yang dapat bapak dan ibu trainer ikuti dan kembangkan sesuai dengan konteks pelatihan dan pengajaran masing-masing:




7. Menjadi Mentor Rekan Sejawat


Untuk memastikan program pelatihan/training guru meraih sukses, serta memperkuat kerja sama dan keberlanjutan pengembangan dan peningkatan kompetensi guru, teacher trainers sebaiknya bekerja berdampingan dengan mentor, yang tidak lain adalah sesama rekan guru (peer-collaboration). Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan:


1. Observasi

Mentor (guru pendamping) dapat mengundang mentee (guru yang didampingi) untuk mengobservasi cara pemberian materinya dan meminta feedback (kesan dan opini) mereka. Mentor juga dapat mengobservasi mentee dalam memberi materi di kelas-kelas mereka.


2. Membuat jurnal kolaboratif

Jurnal kolaboratif merupakan bentuk jurnal yang berisi refleksi proses pembelajaran (plus minus, masalah atau tantangan apa saja yang muncul) yang dibuat oleh setiap guru. Guru-guru yang bersepakat membuat jurnal kolaboratif kemudian saling bertukar jurnal refleksi untuk membuat perbandingan antar jurnal pengalaman masing-masing, solusi yang ditawarkan, saling bertanya, dan berbagi ide untuk diaplikasikan di kelas mereka masing-masing. Dalam kaitannya dengan training, hal ini dapat dilakukan antar mentor dan mentee (trainer dan partisipan), ataupun antar mentees (antar partisipan).


3. Teacher Support Group or Study Circle

Guru dapat membentuk grup kecil atau lingkar studi dalam institusi sendiri sebagai wadah berdiskusi terkait isu/masalah-masalah dalam proses pembelajaran di kelas dan saling memberi saran/nasehat. Grup/komunitas seperti ini biasanya bersifat terstruktur, memiliki ketua, namun tidak ada yang menjadi sang ahli/the expert di dalamnya.


4. Teacher Support Network

Mirip dengan Support Group atau Study Circle, namun dengan jumlah anggota yang lebih banyak, yang dapat meliputi guru-guru dari berbagai sekolah dalam sebuah wilayah. Setiap guru dapat bertugas sebagai mentor/pendamping atau coach/pelatih melalui pertemuan rutin untuk mendiskusikan masalah-masalah terkait pengajaran.


5. Teachers’ Associations

Teachers' Associations atau organisasi guru memberi peluang bagi semua guru untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sesama guru mulai pada skala lokal, nasional, hingga internasional. Dengan berpartisipasi dalam konferensi-konferensi dan berbagai workshops, guru dapat mengembangkan jaringan kontak profesional dalam lingkup studi yang sama guna menjadi mentor. Para guru juga berkolaborasi untuk mempresentasikan atau membagikan ide-ide setelah konferensi. Hal ini juga memberikan peluang bagi terlaksananya proses mentoring dan coaching antar sesama guru.


Peer Mentoring Plan


Dalam merencanakan kegiatan mentoring antar guru, berikut tiga langkah penting yang perlu diikuti:


Langkah pertama: Berkolaborasi

Pada langkah ini, pilihlah salah satu dari empat cara berkolaborasi yang paling anda senangi atau yang paling anda anggap dapat menjadi solusi terbaik atas masalah atau tantangan yang sedang anda hadapi; jurnal kolaboratif, Teacher Support Group or Study Circle, Teacher Support Network, atau Teachers’ Associations. Sebagai contoh, penulis memilih opsi “jurnal kolaboratif”.


Anda juga perlu menentukan tujuan utama dari keputusan untuk berkolaborasi tersebut, apa yang ingin anda capai khususnya di akhir semester berjalan misalnya. Contoh:

By the end of the second semester this course year, I want to strengthen teachers’ awareness of how reflective teaching can improve their performance.

Selanjutnya, anda juga perlu merumuskan setidaknya empat langkah yang akan anda ambil dalam rangka mencapai tujuan utama anda tersebut melalui cara berkolaborasi yang anda pilih. Berikut contohnya:

  1. I will ask my fellow English teachers (at least 1) if they are interested in exchanging experiences and ideas on the teaching of a certain topic (ex; Analytical Exposition Text).

  2. I will ask whether or not they know or even have been practicing reflective teaching. If they don’t, I will explain, and if they have been practicing it, I will ask how they do it.

  3. I will set up a meeting to discuss the period and the reflective journal format for us to fill in.

  4. At the end of the period, I will set up another meeting where we will exchange our reflective teaching journals and give advice or ideas to each other.

Langkah ke dua: Coach and Mentor

Berikut contoh rumusan langkah ini sesuai dengan pilihan cara berkolaborasi yang penulis kemukakan pada langkah pertama.

“My training lesson on tech tools for enhancing students’ reading motivation and engagement is highly relevant with the teaching of analytical exposition text, a mandatory English lesson for the 11th graders in my national curriculum. Through collaborative journals, I will be able to see how my colleagues use tech tools like MindMeister and Newsela specifically in reading and synthesizing analytical exposition texts, which they can also lead to the production of analytical exposition essays written (originally) by their students as one of the four main language skills (writing). The journals will also show me what problems my colleagues still encounter in the teaching process. They will also be able to read my journal and do a compare and contrast review. When these are all done, we will then be able to share ideas for improvement or new knowledge and skills. Mentoring each other outside the training lessons can be done with colleagues within my institution or within my town (offline), but also with video conference tools, it is possible to mentor each other online. I am now considering this peer observation to be a part of my training course as a follow-up (can be arranged at the end of the training). We can arrange participant peer observations and as the trainer, I can also do peer observations with the participants (at least 2).”

Langkah ke tiga: Create (menciptakan/membuat)

Berikut ini adalah contoh tampilan instrument peer mentoring yang dapat anda ikuti dan kembangkan sesuai dengan konteks pelatihan dan pengajaran bapak dan ibu trainer:



8. Melestarikan keterlibatan (engagement): Communities of Practice (CoP) for Teacher Support and Development


Diakui atau tidak, sebagian besar partisipan pelatihan kita selama ini mengakhiri engagement (keterlibatan) dan bahkan ilmu serta skills yang dipelajari bersama dengan saat berakhirnya masa pelatihan. Ya gak sih?!

So, bagaimanakah caranya untuk membuat partisipan pelatihan kita tetap terus engaged/terlibat (secara psikologis: perhatian, minat, dan investasi dalam kegiatan belajar/pelatihan) meski pelatihan telah selesai? Nah, di sinilah Communities of Practice (CoP) dapat mengambil peran.


Communities of Practice adalah sekumpulan orang-orang yang memiliki minat atau profesi yang sama. Secara umum, kita bergabung dalam sebuah Community of Practice untuk memperoleh:


Sebagai guru, kita lebih sering bekerja sendiri dalam merancang pelaksanaan pembelajaran dan di dalam kelas bersama siswa. Dengan bergabung ke Communities of Practice, kita mempunyai peluang untuk mencari bantuan atau bertanya ketika ada masalah yang tidak dapat kita pecahkan sendiri.


2. Profesional Development

Walau mungkin kita tidak memiliki masalah dalam praktik mengajar atau pun pertanyaan kepada guru lain, namun dengan bergabung ke Communities of Practice, kita mempunyai peluang untuk memperoleh ide-ide baru, materi/kegiatan baru, dan informasi lainnya yang dapat meningkatkan keahlian mengajar kita. Anggota komunitas juga dapat berbagi riset-riset terbaru atau melakukan riset bersama.


3. Career Advancement

Masih berhubungan dengan profesional development, melibatkan diri dalam Communities of Practice juga membuka peluang bagi pengembangan karir. Communities of Practice biasanya juga berbagi informasi terkait lowongan kerja, yang dapat diperoleh dengan menghadiri kegiatan-kegiatan komunitas seperti konferensi, dll. Communities of Practice juga memberi peluang untuk memperkaya resume/CV kita melalui presentasi dan publikasi.


Tantangan dan hambatan dalam keterlibatan komunitas


Setelah memahami hal-hal positif di atas, yang dapat diperoleh dengan bergabung ke Communities of Practice, kita juga perlu memperhatikan tantangan-tantangan atau masalah yang dapat menghambat terbentuknya community engagement/keterlibatan dalam komunitas, yang antara lain berupa:


1. Time alias waktu

Setiap guru memiliki kesibukan sendiri, sehingga diperlukan cara-cara yang tepat agar setiap guru dapat menjadi bagian dari komunitas, yang tidak merugikan waktu mereka dan juga time-efficient.


2. Access to resources

Ada banyak cara untuk terlibat dalam sebuah komunitas. Setiap jenis komunitas berbeda memerlukan resources/alat atau sumber-sumber belajar/bekerja yang berbeda pula. Sebelum membentuk sebuah komunitas, kita perlu memikirkan tentang resources seperti apa saja yang dimiliki oleh anggota komunitas.


3. Cost atau biaya

Syukurlah, ada banyak cara gratis untuk terlibat dalam communities of practice. Namun demikian, ada juga yang membutuhkan biaya baik kecil maupun besar. Menghadiri konferensi nasional (di luar kota penyelenggara) atau bahkan internasional tentu membutuhkan biaya yang cukup besar.


4. Unbalanced Participation alias Partisipasi yang Tidak Seimbang

Baik partisipasi yang terlalu sedikit maupun partisipasi yang terlalu banyak atau mendominasi sama-sama merupakan masalah dalam mempertahankan keterlibatan anggota komunitas. Guru/partisipan dapat menjadi hilang semangat jika komunitas/grup tampak tidak aktif dan sebaliknya juga, jika terlalu banyak aktifitas, guru/partisipan dapat menjadi merasa terbebani atau bahkan terintimidasi.


Demikianlah secuil ilmu yang dapat kami sampaikan kali ini, semoga pembaca yang budiman dapat mengambil manfaat. Saran dan kritik membangun maupun tidak membangun, tetap kami terima yach... Cheers... :)


Comments


© 2016 by Satrih

  • Satrih Lulu
  • Satrih Lulu
bottom of page